Oman Fathurohman SW.
A. Rukyat dan Hisab Sebagai Metode Penentuan Awal Bulan
Sampai saat ini perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadan, Syawal, dan Zulhijah di kalangan umat Islam Indonesia terutama disebabkan oleh adanya perbedaan metode yang digunakan. Pada garis besarnya ada dua metode yang digunakan dalam menentukan masuknya bulan kamariah. Metode pertama, adalah metode rukyat, yaitu berupa kegiatan melakukan observasi langsung terhadap hilal (bulan sabit) pada sore hari ke-29 (malam ke-30) bulan berjalan, pada saat matahari terbenam. Apabila di ufuk barat, di sekitar matahari terbenam, hilal bulan baru dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai tanggal 1 bulan baru. Akan tetapi apabila hilal pada sore itu tidak terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai hari ke-30 bulan berjalan, dan awal bulan baru ditetapkan lusa.
Penggunaan metode rukyat untuk menentukan masuknya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah didasarkan pada arti harfiah dari sejumlah hadis Nabi Nabi saw. yang antara lain:
1. Hadis yang memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadan ketika telah melihat hilal, antara lain sabda Nabi saw,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم] .
Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan diriwayatkan pula oleh Muslim].
Secara harfiah hadis ini memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan rukyat (terlihatnya hilal), dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan/perhitungan).
2. Hadis yang melarang berpuasa Ramadan dan beridulfitri sebelum melihat hilal,
لاَ تَصُوْمُوْا حَتىَّ تَرَوُا اْلهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim].
Secara harfiah hadis ini melarang memulai dan mengakhiri puasa Ramadan sebelum terlihatnya hilal, dan bilamana cuaca berawan sehingga tidak dapat melihat hilal, maka hendaklah dibuat estimasi (perkiraan/perhitungan).
3. Hadis yang memerintahkan memaksimalkan umur bulan ketika cuaca berawan atau mendung.
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari [diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim].
Seperti halnya dua hadis sebelumnya, secara harfiah hadis ini pun memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan terlihatnya hilal. Selain itu, hadis ini juga dijadikan sebagai satu-satunya tafsir terhadap kata فَاقْدُرُوْا لَهُ pada dua hadis sebelumnya, yakni yang dimaksud dengan kata itu adalah menggenapkan umur bulan Syakban tiga puluh hari (istikmal) untuk memulai puasa Ramadan atau menggenapkan umur bulan Ramadan tiga puluh hari untuk mengakhiri puasa Ramadan.
Para pengguna metode rukyat masih berbeda pendapat tentang macam rukyat itu sendiri. Mereka memperdebatkan apakah rukyat yang sah itu hanyalah rukyat yang dilakukan dengan mata telanjang saja, atau boleh juga rukyat dengan menggunakan alat optik semisal teropong. Kemudian dipermasalahkan juga apakah rukyat harus terjadi dari daratan, sehingga rukyat yang terjadi dari lautan tidak sah? Begitu pula diperdebatkan apakah rukyat hanya boleh dilakukan dari permukaan bumi ataukah bisa juga rukyat melalui satelit?
Metode kedua untuk menentukan awal bulan kamariah adalah metode hisab, yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan sore hari pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) Bulan dan matahari. Terdapat beragam jenis hisab seperti hisab wujudul hilal, hisab imkanu rukyat, hisab ijtimak sebelum matahari terbenam, hisab ijtimak sebelum fajar, dan lain sebagainya.
Di lingkungan Muhammadiyah digunakan apa yang disebut dengan hisab wujudul hilal. Hisab wujudul hilal adalah metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan kamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga para meter (kriteria), yaitu:
a) telah terjadi konjungsi atau ijtimak,
b) konjungsi (ijtimak) itu terjadi sebelum matahari terbenam,
c) pada saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk.
Penggunaan metode hisab oleh Muhammadiyah didasarkan atas berbagai alasan, baik syar’i maupun astronomis, yang antara lain sebagai berikut:
1. Semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 Allah berfirman,
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [55: 5]
Artinya: Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan [55: 5]
Ayat ini menegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan oleh karenanya dapat dihitung dan diprediksi. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan karena banyak kegunaannya. Di antara kegunaan perhitungan gerak Bulan dan matahari itu, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 5 dari surat Yunus, adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Ayat 5 surat Yunus dimaksud berbunyi,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [10: 5].
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi Bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui [Q. 10: 5].
2. Hadis-hadis yang secara harfiah mengharuskan rukyat atau istikmal dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadan tidak berlaku permanen, karena hadis-hadis tersebut mengandung illat. Ini ditegaskan oleh Nabi saw dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim].
Hadis ini menunjukkan bahwa penggunaan rukyat pada zaman Nabi saw. itu karena keadaan umat masih ummi, yaitu sebagian terbesar tidak mengenal baca tulis dan tidak dapat melakukan hisab.
3. Secara astronomis, penggunaan rukyat sebagai metode penetapan awal bulan kamariah menimbulkan masalah yang tak terhindarkan, antara lain:
a. Tidak dapat digunakan untuk menyusun kalender, karena masuknya bulan baru diketahui paling cepat H-1.
b. Rukyat tidak dapat menyatukan penanggalan kamariah secara global, karena rukyat tidak bisa mengkaver seluruh permukaan bumi pada waktu yang bersamaan.
c. Jangkauan rukyat terbatas sehingga tidak dapat diberlakukan ke seluruh dunia, bahkan ada kawasan tertentu di muka bumi tidak dapat merukyat sama sekali karena tempatnya tidak normal.
B. Problem Fikhiah
Seperti terlihat pada uraian di atas bahwa baik pengguna rukyat maupun hisab masing-masing memiliki argumentasi yang dibangun khususnya dari landasan–landasan syari’ah yang berupa hadis Nabi saw atau pun ayat al-Quran, meskipun untuk ayat al-Quran ini para pengguna rukyat tidak cenderung untuk menggunakannya sebagai dalil dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum-hukum kongkrit, seperti penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, maupun Zulhijah. Menurut umat Islam Indonesia pendukung rukyat, melihat hilal dan istikmal sebagaimana secara harfiah ditegaskan dalam hadis-hadis Nabi saw. di atas adalah merupakan satu-satunya cara untuk menentukan mulai dan berakhirnya puasa Ramadan. Cara ini harus berlaku kapan pun dan di mana pun, tanpa ada pembatas waktu dan tempat berlakunya. Rukyat dan istikmal itu tidak dapat diganti dengan cara apapun karena ia termasuk dalam wilayah taabudiah, yakni semata-mata karena ketentuan Allah dan RasulNya yang tidak boleh diubah dan tidak akan pernah mengalami perubahan. Rukyat dan istikmal itu satu-satunya cara yang sah menurut syar’i untuk menentukan mulai dan berakhirnya puasa Ramadan, atau kalau diperluas untuk menentukan awal bulan kamariah.
Pandangan yang sebaliknya dikemukakan oleh Muhammadiyah yang menyatakan bahwa cara untuk menentukan mulai dan berakhirnya puasa Ramadan, termasuk cara untuk menentukan awal bulan kamariah adalah wilayah ijtihadiah yang dapat berubah-ubah. Ketika ada cara yang lebih menjamin kepastian maka cara yang masih menimbulkan keraguan dapat bahkan harus ditinggalkan. Itulah sebabnya mengapa Muhammadiyah lebih memilih hisab daripada rukyat karena hisab lebih menjamin kepastian.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan Muhammad Rasyid Rida. Menurut Muhammad Rasyid Rida, rukyat itu bukanlah ibadah. Menurut Mustafa az-Zarqa, perintah melakukan rukyat hilal bukan karena rukyat itu sendiri adalah ibadah atau mengandung makna taabudi. Akan tetapi perintah tersebut adalah karena rukyat itulah sarana yang mungkin dan mudah dilakukan saat itu untuk mengetahui mulai dan berakhirnya bulan bagi orang yang keadaannya masih ummi, di mana mereka tidak memiliki pengetahuan tentang baca tulis dan hisab astronomi. Menurut Yusuf al-Qaradawi, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Yusuf al-Qaradawi, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya. Ahmad Muhammad Syakir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qaradawi merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Dengan argumen seperti itu para ulama penganut hisab tidak menjadikan rukyat sebagai syarat memulai puasa Ramadan atau Idulfitri. Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H / 1302 M) dalam karyanya Syarh ‘Umdah al-Ahkam menegaskan, bahwa rukyat secara faktual (rukyat bilfi’li) tidak disyaratkan untuk wajibnya memulai puasa karena telah disepakati bahwa orang yang berada di dalam bungker apabila dengan hisab atau dengan ijtihad mengetahui telah sempurnanya bulan berjalan wajiblah ia berpuasa meskipun ia tidak melihat Bulan atau tidak ada orang yang melihatnya yang membeitahukan kepadanya. Dengan demikian rukyat bukan merupakan sebab syar’i datangnya kewajiban memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dan bukan pula termasuk dalam wilayah taabudiah.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada hadis-hadis rukyat yang tidak ditafsirkan secara individual dan secara harfiah apa adanya, melainkan hadis-hadis tersebut ditafsirkan secara komprehensif dengan menghubungkannya kepada hadis lain terkait serta ayat-ayat al-Quran, dan secara kontekstual dengan melihat ilat mengapa waktu itu diperintahkan melakukan rukyat, yaitu karena keadaan umat yang masih ummi.
Sesungguhnya kebolehan menggunakan hisab untuk menentukan mulai dan berakhirnya puasa Ramadan bukan muncul belakangan pada abad modern ini. Akan tetapi sejak periode tabiin besar penggunaan hisab tersebut sudah diperbolehkan pula, meskipun masih terbatas pada kelompok kecil. Muttarrif ibn Abdillah ibn asy-Syikhkhir (w. 95/714), seorang ulama tabiin besar, adalah ulama pertama kali diketahui membolehkan penggunaan hisab untuk penentuan awal bulan kamariah. Periode berikutnya Imam asy-Syafi’i (w. 204/820) mengikuti pendapat Muttarrif, kemudian diikuti pula oleh Muhammad ibn Muqatil ar-Razi (w. 242/857), dan Ibn Suraij (w. 306/918), seorang ulama syafi’iah abad ke-3 H. Kebolehan penggunaan hisab kala itu memang hanya terbatas ketika hilal tidak terlihat karena terhalang awan atau mendung, merupakan solusi teknis atas ketidak berhasilan rukyat. Namun demikian, ini sudah menunjukkan kebolehaun penggunaan hisab berdampingan dengan rukyat. Dan untuk selanjutnya seperti dijelaskan di atas hisab digunakan bukan hanya ketika hilal tertutup awan, tetapi boleh digunakan dalam setiap keadaan sebagai pengganti rukyat.
mustahil terlihat, sebaliknya di atas itu mungkin terlihat.° maka kesaksian rukyat dalam keadaan seperti itu harus ditolak, betapapun pelaku rukyat menyatakan sumpah atau mengucapkan kesaksian. Dalam hal ini, penggunaan hisab tidak lebih dari hanya sekedar untuk menafikan pengakuan rukyat seseorang, karena diyakini hilal dalam posisi kurang dari 02°. Jika tinggi hilal kurang dari 02°Ulama Indonesia pendukung rukyat juga masih berbeda pandangan mengenai keabsahan kesaksian rukyat dalam hubungannya dengan penyumpahan(bersaksi secara syar’i) dan pembuktian hisab. Bagi sebagian ulama, keabsahan kesaksian rukyat itu cukup dengan adanya kesediaan pelaku rukyat mengucapkan kesaksian, sementara itu ulama lainnya, dan ini yang terbanyak untuk saat sekarang ini, mengharuskan adanya batasan tertentu yang ditetapkan dalam hisab astronomi. Batasan itu adalah ketinggian hilal (Bulan) minimal 02
itu pun tidak dapat dibuktikan.° tidak dapat diterima, padahal secara astronomi hilal dengan ketinggian 02° itu didasarkan kepada pengalaman, mengapa pengalaman orang melihat hilal dengan ketinggian kurang dari 02°. Pesoalannya adalah, jika ketentuan 02¢ 25°. Jelang bulan Zulhijah 1389 H bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 6 Februari 1970 di Bekasi dan Tangkubanperahu hilal terlihat, dan pemerintah Indonesia berdasarkan rukyat tersebut menetapkan tanggal 1 Zulhijah 1389 H malam Sabtu itu. Tinggi hilal saat itu di Semarang 02¢ 24°. Jelang bulan Zulhijah 1377 H bertepatan dengan hari Selasa tanggal 17 Juni 1958 di Majalengka hilal terlihat, dan pemerintah Indonesia berdasarkan rukyat tersebut menetapkan tanggal 1 Zulhijah 1377 H malam Rabu itu. Tinggi hilal saat itu di Jakarta 02² 07¢ 00° lebih. Pengalaman tersebut sebagaimana diutarakan oleh Zubair ‘Umar al-Jailani, bahwa menjelang Syawal 1377 H bertepatan dengan hari Sabtu tanggal 19 April 1958 di Tangerang hilal terlihat, dan berdasarkan rukyat itu Menteri Agama menetapkan tanggal 1 Syawal 1377 H malam Ahad itu. Tinggi hilal saat itu di Jakarta 03° itu diperoleh? Ini didasarkan pada pengakuan atau pengalaman terlihatnya hilal di suatu tempat pada suatu waktu dan setelah dihitung berdasarkan hisab astronomi, ternyata tingginya 02°Dari mana batasan tinggi hilal 02
C. Problem Non-Fikhiah
Problem lain di seputar hisab rukyat adalah mengenai pertanda bulan baru, maksudnya apa yang menjadi tanda yang dengan tanda itu tanggal 1 bulan baru sudah masuk. Dalam hal ini, antara pendukung rukyat dan pendukung hisab berbeda. Bagi pendukung rukyat dengan metode rukyatnya, tanda masuknya bulan baru itu adalah terlihatnya hilal atau, kalau tidak terlihat hilal, genapnya umur bulan berjalan 30 hari.
Berbeda dengan pendukung rukyat, pendukung hisab tidak menjadikan terlihatnya hilal maupun genapnya umur bulan berjalan 30 hari sebagai tanda masuknya bulan baru kamariah. Masuknya bulan baru kamariah ditandai dengan posisi atau kedudukan Bulan. Para pendukung hisab tidak satu kata dalam menentukan posisi atau kedudukan Bulan sebagai tanda masuknya bulan baru kamariah. Dari sini lahirlah beragam kriteria hisab awal bulan kamariah seperti hisab wujudul hilal, hisab imkanu rukyat, hisab ijtimak sebelum matahari terbenam, hisab ijtimak sebelum fajar, dan lain sebagainya, sebagaimana telah disinggung terdahulu. Dari sisi konsep dasarnya dan keterkaitannya dengan rukyat, jenis hisab tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hisab imkanu rukyat di satu sisi, dan hisab wujudul hilal, hisab ijtimak sebelum matahari terbenam, dan hisab ijtimak sebelum fajar di sisi lain.
Dasar pijak dan cara berpikirnya metode hisab dengan kriteria imkanur rukyat ini adalah rukyat yakni awal bulan dimulai ketika hilal terlihat secara fisik aktual, sebagaimana digunakan dalam metode rukyat, kemudian dari fakta terlihatnya hilal itu dialihkan dan dicarikan fakta astronomisnya yakni dicari kriteria visibilitasnya. Dengan demikian, dalam rukyat tampakan hilal itu sungguh-sungguh tampak menurut penglihatan sedangkan dalam imkanur rukyat tampakan hilal itu adalah tampak berdasarkan kriteria visibilitasnya. Jadi dalam hal ini ada dua hal yang harus teruji kebenarannya, yaitu pertama, apakah tampakan hilal menurut penglihatan itu adalah benar-benar hilal sehingga dengan begitu dapat ditetapkan kriteria visibilitasnya, dan kedua, berkaitan dengan penetapan kriteria atau paramater visibilitasnya itu sendiri.
Kriteria imkanur rukyat bertumpu kepada rukyat (terlihatnya hilal), oleh karenanya dalam menentukan parameternya tidak cukup hanya ketinggian bulan tetapi jelas harus memperhitungkan pula faktor atmosfer yang dapat mempengaruhi kekuatan cahaya hilal. Atmosfer yang memantulkan sinar matahari yang baru saja terbenam ke daerah hilal akan sangat berpengaruh terhadap cahaya hilal. Cahaya matahari yang dipantulkan dan disebarkan oleh atmosfer di sekitar hilal dan mempengaruhi kekuatan cahaya hilal inilah kemudian yang melahirkan parameter lain selain tinggi bulan yaitu parameter jarak bulan/hilal dari matahari. Dengan jarak bulan – matahari pun tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan pengaruh cahaya atmosfer terhadap cahaya hilal karena tebal tipisnya atmosfer menjadi penting untuk diperhitungkan karena berpengaruh juga terhadap kuat lemahnya cahaya yang dipantulkannya.
. Sebaliknya, ketika kriteria imkanur rukyat sudah terpenuhi namun rukyat tidak berhasil keputusan apa yang akan diambil? Apakah umur bulan berjalan diistikmalkan (dimaksimumkan 30 hari), atau rukyat diabaikan dengan cara tanggal satu bulan baru ditetapkan berdasarkan pada sudah terpenuhinya kriteria imkanur rukyat, atau harus dipaksakan ada atau berhasil rukyat supaya sesuai antara hasil rukyat dengan hasil imkanur rukyat. Yang terakhir ini tentu bukan pilihan dan harus dihindari jauh-jauh. Kalau pilihannya jatuh pada yang pertama maka kriteria imkanur rukyat terbukti tidak menjadi kriteria bersama dan tidak menyelesaikan dikotomi hisab dan rukyat. Jika pilihan yang kedua yang diambil maka rukyat harus ditinggalkan karena baik rukyat berhasil atau tidak tanggal satu bulan baru tetap ditentukan berdasarkan terpenuhinya kriteria imkanur rukyat. Demikian ini akan berlaku terhadap kriteria i° dijadikan legitimasi untuk penolakan terhadap pengakuan terlihatnya hilal (keberhasilan rukyat) karena hilal yang berhasil dilihat itu tingginya kurang dari 02°Begitu dekat dan eratnya antara hisab kriteria imkanur rukyat dengan rukyat, hadis Nabi saw yang secara harfiah memerintahkan puasa dan idul fitri karena terlihatnya hilal atau larangan berpuasa dan idul fitri sebelum terlihatnya hilal, dijadikan dalil untuk kriteria imkanur rukyat. Secara harfiah ini tentu tidak tepat, tetapi kalau visibilitas hilal yang kriterianya ditetapkan dalam hisab imkanur rukyat itu sebagai salah satu tafsir dari hadis Nabi saw tersebut tentu boleh saja dan tidak perlu melarang orang lain untuk memberikan tafsir yang berbeda. Di sisi lain, kedekatan antara imkanur rukyat dan rukyat sering kali hisab kriteria imkanur rukyat ini dianggap sebagai jalan tengah atau penghubung antara metode hisab dan rukyat. Bahkan lebih dari itu, ini tentu tidak diharapkan, hisab kriteria imkanur rukyat ini menjadi kehilangan fungsinya sebagai kriteria awal bulan dan berubah menjadi kriteria pengabsahan rukyat hilal. Dan ini sudah terjadi, misalnya kriteria imkanur rukyat tinggi bulan minimal 02.°mkanur rukyat macam apa pun bukan hanya pada kriteria tinggi Bulan 02
Antara imkanur rukyat dengan wujudul hilal bukan saja berbeda pada pucuknya, tetapi berbeda sejak akarnya. Dasar pijak wujudul hilal bukan visibilitas hilal tetapi posisi atau kedudukan bulan. Tiga parameternya yang harus terpenuhi secara kumulatif, yakni sudah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari, dan pada saat terbenam matahari Bulan belum terbenam, sebagaimana disinggung terdahulu, kalau dipahami sebagai kriteria visibilitan hilal adalah benar-benar keliru.
D. Penutup
Apa yang dikemukakan dalam makalah ini hanya sebagian saja dari problema hisab rukyat di tanah air. Untuk pembahasan yang lebih dalam lagi diperlukan waktu yang tidak singkat. Namun demikian, makalah ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
Yogyakarta, 16 Oktober 2011
Oman Fathurohman SW.